PASER _ Pasca dikeluarkannya kebijakan larangan eksport produk turunan CPO oleh Presiden Jokowi tertanggal 28/04/2022, dikabarkan banyak petani dan pekerja sawit yang mengaku kesal karna turunnya harga jual TBS di Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Atas maraknya suara keluhan petani di group-group watshapp yang ada di wilayah Paser dan Penajam Paser Utara, Muchtar Amar selaku Pemerhati Politik dan Hukum (PATIH) pada Senin (16/05) ikut bersuara.
"Sebelumnya pemerintah berinisiasi mengeluarkan kebijakan Domestic Marketing Obligatian (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) produk sawit untuk menghindari kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng" tuturnya.
"Meski fakta kebijakan tidak membuahkan hasil, karna pasca kebijakan tidak membuat harga minyak goreng menurun meski stok di pasar dan swalayan sudah kembali tersedia namun dibandrol harga tinggi". Ungkap Muktar.
Lebih lanjut Muktar berharap Presiden Jokowi dapat meliat epek lain yang dilahirkan oleh kebijakan tidak populis Presiden tersebut yang kini mulai dianggap tidak bersahabat dengan kebutuhan para petani dan lembaga ekonomi petani Kelapa Sawit.
“ini urusan perut para petani, pekerja dan keluarga para Petani Sawit. Jadi sudah sewajarnya Pemerintah juga pertimbangkan larangan ekspor produk sawit, sebab dampak larangan ini beda dengan dampak larangan eksport batubara. Kata muktar
Karna secara sederhana, jika dulu larangan batu bara dianggap biasa itu larna kondisi pengusaha batubara lebih tahan banting dengan modalnya yang sebagian besar datang dari para Bayer dan asing sedang petani itu kebanyakan modal pribadi.
“Petani dan pekerja sawit itu polanya dapat uang hasil panen untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dan jika kondis semacam ini, mereka merasa terzholimi atas adanya penerapan harga TBS yang tidak bersahabat sementara, harga dasar minyak CPO masih relatif cukup tinggi”, Tutupnya.(*Hendra*)